Tempat ibadah Lo Cia Bio / Ne-zha Miao yang juga akrab disebut Klenteng Kampung duri, dengan nama formal Vihara Bodhi Dharma berlokasi di kawasan Cibunar, Kelurahan Duri Pulo, Jakarta. Sejarah didirikan Klenteng Kampungduri — Lo Cia Bio tidak dapat dipisahkan dari ciri dasar kondisi para perantau Tionghoa Sulawesi Utara sewaktu datang mengadu nasib peruntungan dan/atau melanjutkan studi di Jakarta dan sekitamya pada pertengahan tahun 1950-an silam. Fenomena tadi menonjol dijumpai pada suatu komunitas perantau berjumlah kecil dan masih kental terikat pada tradisi daerah asalnya (adat-istiadat, sistem kekerabatan, agama dan kepercayaan), seperti tercermin kala itu dari situasi keadaan para perantau Tionghoa Sulawesi Utara (sebagian besar berasal dari Manado dan beberapa lainnya dari Gorontalo) yang terkenal disapa “Orang Manado” atau “Perantau Manado”. Pengalaman serupa itu juga dialami dan terjadi pada berbagai runitas imigran Tionghoa asal China (Tiongkok) seperti terbukti dijumpai sejumlah klenteng tua berusia di atas 150 tahun (bahkan ada di atas 300 tahun) di Jakarta dan berbagai daerah lain di nusantara. Sebagian besar klenteng tua itu kini dilindungi sebagai obyek cagar budaya (situs purbakala). Alasan didirikan berbagai klenteng tadi dan juga Lo Cia Bio amatlah manusiawi, disebabkan oleh faktor tiga hakekat dasar manusia seperti akan dipaparkan di bawah ini.
Menghadapi berbagai masalah hidup, manusia cenderung menggantungkan harapan masa depan kehidupannya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tian / Thian ). Ditinjau dari aspek sosiologi agama, ketergantungan kepada Thian disebabkan oleh keterbatasan akses pdbadi sebagai ciri dasar hakekat manusia, dan oleh kenyataan seringkali harus menghadapi tiga kendala pokok berkaitan dengan masalah ‘ketidakpastian’, ketidakberdayaan’, dan ‘kelangkaan’. Faktor ‘ketidakpastian’ menunjukkan suatu rencana sekalipun telah disusun dengan amat rapih dan dilaksanakan secara saksama, tetap saja tidak luput dari risiko kegagalan yang akan memberikan dampak kekecewaan mendalam. Bahkan di masyarakat modern berteknologi canggih sekalipun, keberhasilan tetap merupakan berkat dan ketidakpastian. Peribahasa terkenal “Manusia merencanakan, Tuhan menentukan” menyiratkan hal serupa sebagai hasil dari penghayatan pengalaman. Faktor ‘ketidakberdayaan’ mengindikasikan tidak semua yang didambakan dapat berhasil diraih menjadi kenyataan, sehingga konflik antara keinginan (cita-cita) dan lingkungan ditandai oleh ketidakmampuan. Hal ini tidak terbatas pada obsesi untuk meraih keberuntungan di bidang materi dan sosial semata, namun terbukti manusia pun tidak berdaya menghindari jatuh sakit, menjadi tua dan meninggal dunia. Faktor kelangkaan mengindikasikan kendati hasrat orang mengejar keberhasilan hidup teramat antusias, tetapi kesempatan (sumber daya) yang tersedia langka adanya.
Kenyataan adanya perbedaan besar antara harapan dan realitas hidup, menyadarkan manusia betapa kecil dirinya sehingga selalu dibayang¬bayangi kecemasan menghadapi ketidakpastian, dan terdorong untuk menggantungkan harapan masa depan hidupnya pada Thian melalui agama. Wajar bila kemudian Thian dan beragama mendapat prioritas perhatian, bahkan terasa semakin bermakna bagi komunitas Perantau Manado dalam posisi marginal di lingkungan pemukiman baru dan asing pada masa awal perantauan di Jakarta. Tindakan para Perantau Manado mewujudkan tempat ibadah yang semula disebut Rumah Sembahyang Kampung duri (embrio Lo Cia Bio) sebagai tempt memohon berkah kepada Thian dan para Roh Such (Shen-ming / Sin-beng) di awal periode perantauan, disebabkan oleh tiga hakekat mendasar thanusia yakni keterbatasan akses pribadi; kehidupan sehari-hari iidak dapai dipisahkan dari kegiatan bersifat duniawi (materi) dan sakral (holistik); kecenderungan untuk tidak hidup menyendiri terpisah dari komunalnya. Sementara orang lain membangun klenteng justru sebagai ungkapan terima kasih kepada Thian dan para Roh Suci atas keberhasilan yang diraih selama suatu kurun waktu (perantau maupun bukan perantau). Suatu Kelenteng dibangun, baik sebelum atau sesudah keberhasilan seseorang/suatu komunitas, tetap dimotifasi oleh faktor masalah ketergantungan kepada Thian yang notabene tidak dapat dipisahkan dari peran agama dalam masyarakat.