1. Karakteristik Klenteng Lo Cia Bio
Secara umum klenteng atau kelenteng adalah istilah Sino-lndonesia yang bermakna sebagai tempat peribadahan bagi para pemeluk agama Tridharma (Sam Kao) hasil perbauran antara Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme bersumber pada ketiga ajaran Sang Tri Nabi Agung yaitu Khonghucu ,Lao Tze dan Buddha Gautama. Kendati demikian, tidak semua klenteng merupakan Klenteng Komunal yang terbuka untuk semua kalangan umatnya. Sebab ada jenis Klenteng Privat (Perorangan) yang terbatas hanya untuk suatu kelompok sosial tertentu (misalnya milik kongsi, perkumpulan dagang seperti di zaman dulu), dan Klenteng Marga hanya terbuka untuk marga tertentu. Klenteng-klenteng besar di Jakarta yang dahulu tergolong Klenteng Privat dan Klenteng Marga kini telah membuka pintu untuk umum. Namun secara empirik terdapat beberapa klenteng kecil di Jakarta dan sekitamya yang kini masih tergolong Klenteng Privat. Dari aspek jenis Klenteng, Lo Cia Bio termasuk jenis Klenteng Komunal yang terbuka bagi siapa saja (umum) tanpa membeda-bedakan ras, etnis, suku, golongan, asal-usul.
Hal ini terbukti sejak masa awal keberadaan Lo Cia Bio di tahun 1959 telah ikut bergabung para umat non Manado, bahkan ada yang ikut mengambil bagian pro-aktif ikut mengurus dan membantu mendanai demi kelangsungan hidup klenteng ini di masa-masa krisis pada tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an. Partisipasi umat non Manado diteruskan oleh generasi berikutnya sejak tahun 1980-an hingga saat ini, dan kini cukup banyak orang non Mariado yang menjadi umat Klenteng Lo Cia Bio. Namun akibat kental nya pengaruh budaya dan peranan komunitas Manado dan Gorontalo, bagi orang luar terkesan seolah-olah Klenteng Lo Cia Bio adalah klenteng khusus komunitas Manado.
a. Nama Klenteng Lo Cia Bio
Lazimnya nama klenteng mengindikasikan besar-kecil Klenteng itu dan sekte/aliran yang dianutnya. Miao (Bio: dialek Fujian) berarti klenteng besar, digunakan oleh berbagai pihak. Tempat-tempat suci utama bercorak Khonghucu di Indonesia diberinama Boen Bio, contoh di Surabaya (tertua, didirikan tahun 1883) dan di Tangerang, sedang untuk ukuran Iebih kecil (ruang kebaktian) disebut Lithang. Klenteng bercorak Buddhis disebut An (dihuni para bhiksuni) dan Si (dihuni para bhiksu). Sedang untuk Tao Yuan atau klenteng bercorak Taois disebut Kong / Kiong 0 (berarti istana) dan Kuan 0 (setingkat Iebih rendah). Klenteng Komunal ini sengaja tidak memakai istilah Kiong dan Kuan yang secara spesifik mengindikasikan corak Taoisme, melainkan memilih jalan tengah memakai istilah Bio. Sekalipun demikian di Indonesia ketiga corak tempat ibadah (Klenteng) itu terbuka untuk umum tanpa membeda-bedakan aliran. Klenteng komunitas Manado ini temyata memiliki beberapa predikat terkenal Lo Cia Bio, Klenteng Kampungduri, dan Klenteng Orang Manado.
Sebutan “Lo Cia Bio” adalah nama yang akrab diisebut oleh para umat generasi junior dan mulai intensif digunakan dan disosialisasikan sejak tahun 1995 pada saat kepemimpinan Nick Thung Widjaja (alm). Sebutan “Klenteng Kampungduri” selain telah dikenal dan tersosialisasikan sejak awal keberadaan Klenteng ini, juga Iebih popular dan luas jangkauannya. Ada tiga pihak yang akrab menyapa wadah ini Klenteng Kampungduri yakni para umat generasi senior, komunitas Manado lintas agama di Jakarta, dan masyarakat di Sulawesi Utara (Minahasa), dan Manado-Gorontalo pada khususnya. Bagi para generasi senior, nama “Kampungduri” memiliki makna signifikan dan kaitan emosional menyangkut pengalaman perjuangan di masa-masa awal eksistensi dan perkembangannya sebagai tempat ibadah amat sederhana di lingkungan hunian yang juga sangat sederhana. Tempat ibadah ini berlokasi di kelurahan Duri Pulo kawasan Cibunar yang becek di waktu hujan, dikelilingi rumah-rumah amat sederhana terbuat dari gedek dan untuk tiba di situ harus melalui gang / lorong becek di samping pabrik kancing sekitar 60-70 meter dari jalan raya di kala itu. Mengingat adat kebiasaan di Manado yang cenderung menyebut suatu lokasi menurut ciri khusus setempat (misalnya, kampung Cina, kampung Temate, kampung Kodo[k], dll.), maka lingkungan di sekitar klenteng yang bernuansa kampung dan jaian-jalannya memakai nama awal “Duri”, menurut versi komunitas Manado dinamakan “kampung Duri”.
Itulah sejarah dari mana Iahirnya istilah Kampung Duri. Para generasi senior dituntut berkorban sekitar 15 tahun Iebih untuk pergi ke tempat ibadah itu dalam kondisi becek di kala musim hujan, sehingga memiliki ikatan emosional dengan nama itu. Alasan kedua, pada tahun 1950-an orang tidak lazim menyebutnya klenteng Lo Cia karena beberapa alasan. Wadah tersebut mula pertama disebut Rumah Sembahyang Kampungduri disebabkan masih berbentuk altar rumah (tidak berbentuk klenteng formal), sebab itu juga tidak memiiki nama sehingga tidak mungkin dikaitkan dengan sebutan klenteng maupun nama Lo Cia. Faktor lain, kecenderungan masyarakat untuk memilih cara praktis untuk menyebut nama lokasi yang lebih dikenak umum daripada nama resmi suatu tempat ibadah yang selain lebih sukar diingat juga belum tentu relevan bagi orang lain. Hal ini banyak dijumpai dalam kenyataan, misalnya klenteng Ancol (Da-bo‑gong-an-xu miao di Ancol), klenteng Gunung Kawi di Jawa Timur, klenteng Roxy (Vihara Sapto Ronggo) di Petojo VIJ.III, Vihara Pacet, dll. Tendensi masyarakat di Sulawesi Utara menyebut Klenteng Kampungduri dan bukan Lo Cia Bio, selain alasan di atas juga karena telah popular sejak awal keberadaan, dan untuk membedakannya secara eksplisit dengan klenteng Lo Cia Kiong di Manado. Apabila tempo doeloe klenteng Ban Hing Kiong popular disebut ‘Rumah Tapikong’, giliran klenteng Lo Cia Kiong di Manado popular disebut `Klenteng Kacil’ (kecil) untuk membedakanya dari klenteng Ban Hing Kiong, dan kini disebut ‘Klenteng Liwas’ (nama lingkungan setelah
Lo Cia Kiong pindah ke lokasi baru itu). Penduduk setempat di lingkungan Cibunar temyata lebih memilih sebutan “Klenteng Orang Manado” berdasarkan pengamatan empirik, bahwa tempat ibadah ini milik shaman Bill Parera putra Manado penghuni generasi senior di kampung itu yang disegani, dan mayoritas pengunjung adalah komunitas Manado. Itu sebabnya, kendati anda tidak tahu tepat alamat klenteng Lo Cia Bio, jangan ragu untuk pergi ke situ. Cukup hanya berbekal pertanyaan Mimana lokasi Klenteng Orang Manado” kepada penghuni di kawasan Cibunar, anda pasti akan menemukannya. Secara empirik ada dua kasus pembuldian saran tersebut, dan dapat dikonfirmasikan kepada para bio kong sebagai pihak yang menghadapi dan me layani kedua kasus itu. Kasus pertama dialami rombongan non umat dari Kalimantan yang ingin bertemu dengan rekannya seorang tecu. Kasus kedua dialami umat dari Manado yang menceritakan sendiri kepada penulis mengenai pengalaman serupa itu. Kendati tempat ibadah ini memiliki beberapa nama popular seperti di atas, namun secara resmi (formal) bernama “Vihara Bodhi Dharmaa untuk mengikuti peraturan Pemerintah yang berlaku waktu itu yang dituangkan dalam Inpres No.14 Tahun 1967 (tanggal 6 Desember 1967), dan Surat Keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung R.I. No.67-Tahun 1980; No.224 Tahun 1980; Nomor KEP-111/JA./10/1980 tanggal 15 Oktober 1980, yang meredusir berbagai hal berciri pecinan. Vihara Bodhi Dharma adalah nama yang diberikan oleh mendiang Yang Arya Mahasthavira Ashin Jinarakkhita pemimpin tertinggi (Maha Nayaka) Sangha Agung Indonesia yang popular disebut Sukong tatkala membhiseka (melaksanakan upacara pemberkatan dan peresmian) bangunan Vihara di kompleks klenteng Lo Cia Bio pada tahun 1991.
Nama Bodhi Dharma mengandung arti dan makna berikut. Bodhi berarti bangun atau sadar’, yang di dalamnya tersirat makna penerangan, pengetahuan tinggi, pohon kebijaksanaan. Dharma selain memilliki arti ganda/kabur (ambiguous) juga bermakna aneka ragam (multivalent), dan temyata dipergunakan secara luas baik dalam arti yang sama maupun berbeda, seperti dijumpai pemakaiannya dalam agama Buddha dan agama Hindu. Dharma dalam bahasa Indonesia modern berarti agama, tugas, kewajiban, pengabdian. Menurut agama Buddha, dharma adalah Kebenaran Mutlak. Dharma (Kebenaran) mengacu pengertian tadi mengandung tiga aspek yaitu pengalaman tentang Kebenaran Mutlak (menurut istilah filsafat) yang oleh orang beragama disebut Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, Kesunyataan, Hukum Kebenaran (hukum alam), ajaran (doktrin, kitab suci). Ketiga, Ajaran Kebenaran (etika moral keagamaan) yang patut dipelihara dan diamalkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.23 Dharma dalam pengertian ketiga aspek di atas dapat dianalogi dengan pengertian Tao
10 ajaran Lao Tze, bahwa “Tao itu adalah absolut, alami, dan metafisis.” Penulis menerjemahkan bebas Bodhi Dharma dengan ‘Penerangan Kebenaran’, dan Vihara Bodhi Dharma dengan ‘Sumber Penerangan Kebenaran’, yang selanjutnya dapat dimaknai “Jika ingin memperoleh akses mendalam tentang Kebenaran (Tao/Dharma) datanglah di Klenteng Kampungduri — Lo Cia Bio, pelajari (fahami), dan buktikan sendiri melalui jalan pembinaan batin (spiritual)”.
b. Ciri Utama. Klenteng Lo Cia Bio
Beberapa hal mendasar menyangkut karakteristik utama klenteng Lo Cia Bio dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, klenteng Lo Cia Bio merupakan satu-satunya ‘klenteng’ Lo Cia yang ada (terdapat) di Jakarta hingga saat ini. Dengan kata lain, di antara sekian banyak klenteng yang kini terdapat di Jakarta, hanya satu klenteng ini yang sengaja didirikan untuk dipersembahkan kepada Lo Cia (sebagai dewa utama / tuan rumah) untuk menghormati dan memujanya agar cahaya keagungan dan berkah Lo Cia menyinari para umat, lingkungan sekitar dan penduduk Jakarta pada umumnya. Alasan kedua, klenteng Lo Cia Bio bertekad untuk melestarikan budaya pemujaan agama Tridharma khas Manado beserta tradisi altruistis shamanisme yang telah, disinergikan dan merupakan bagian tidak terpisahkan darinya. Shamanisme / trance I mediumisasi (luo tong / lo tang ) merupakan bentuk ritual berciri agama kuno khas Asia yang meyakini akses berada dalam kekuatan shaman / medium (tang-sin ) yang berperan sebagai perantara spiritual antara dunia manusia dengan dunia alam gaib (roh suci).
Tradisi shamanisme amat terkenal di Asia Tengah (India, Nepal, Bhutan, Tibet, daerah sekitar Himalaya) dan Asia utara (Tiongkok dan Korea). Shamanisme dapat dipisahkan dalam altruistis shamanisme yaitu mendayagunakan ritual mediumisasi demi kepentingan umat / menolong orang banyak, dan seremonial shamanisme yaitu bentuk mediumisasi yang khusus disinergikan untuk melengkapi suatu upacara keagamaan, misalnya pada proses’ capgome. “Medium menurut dialek Mandarin disebut tong-shen (tang-sin / tang-ci ), tetapi medium yang khusus difungsikan untuk menolong orang banyak disebut ci-tung . Sedang tung-ce secara harfiah berarti ‘tidak berbicara’ atau ‘anak kecil’ bermakna suci adalah sebutan untuk medium yang bertugas menjalankan upacara sebagai utusan khusus Thian untuk penyelamatan manusia. ltu alasannya mengapa para peserta prosesi memakai pakaian kin-sin putih sebagai tanda sedih (bukan suci) atas dosa-dosa yang diperbuat. Setelah tung-co melaksanakan ritual (disertai bapotong dan batusuk dengan senjata tajam) untuk menebus dosa-dosa manusia, kemudian mendatangkan kebahagiaan bagi manusia yang dilambangkan dengan memakai swank kain kecil berwama merah sebagai ikat pinggang”, demikian menurut- Que Eng Tjoen.Jadi seremonial shamanisme dapat dianalogi dengan tung-ce, tradisi yang dipelopon oleh klenteng Ban Hing Kiong. Altruists shamanisme dapat dianalogi dengan ci-tung, tradisi yang dipelopon oleh klenteng Lo Cia Kiong. Kedua sekte itu menjadi landasan pijak kultus (sistem pemujaan keagamaan) Tridharma di Manado -yang memiliki karakteristik khusus dan telah membudaya.
Tradisi klenteng Ban Hing Kiong sebagai klenteng tertua di Manado telah berjalan selama hampir dua abad, dan altruistis shamanisme Lo Cia Kiong sekitar setengah abad.Tak dapat dibantah betapa besar pengaruh warisan kultus klenteng Ban Hing !Gong selama sekitar 150 tahun tatkala masih merupakan klenteng satu-satunya di Manado, sebelum muncul sekte altruistis shamanisme. Terbukti tidak hanya klenteng Lo Cia Kiong, tetapi juga hampir semua klenteng di Manado yang menyusul didirikan sejak tahun 1970-an ke atas meng adopsi budaya pemujaan dari klenteng Ban Hing Kiong. Hal tersebut nampak dari kehadiran ketiga dewa-dewi yang merupakan ikon (arca suci utama) di klenteng Ban Hing Kiong dapat ditemukan di banyak klenteng sesudah era keberadaan tunggal klenteng tertua itu. Sedang ritualnya dijadikan rujukan untuk menentukan pola ibadat resmi klenteng-klenteng lain dan temyata pada dasarnya tidak terdapat perbedaan substansial. Tidak terkecuali, Klenteng Kampungduri — Lo Cia Bio di Jakarta juga mengikuti jejak yang sama. Terbukti dari keima attar (kam q) utama di klenteng Lo Cia Bio, tiga di antaranya ditempati arca Ma-co Po , Seng Kong, dan Hok-tek Ceng-sin yang merupakan ikon dalam budaya pemujaan di klenteng Ban Hing Kiong. Altar tengah ditempati arca (jin-shen / kim-sin ) Lo Cia dalam posisi sebagai dewa utama (tuan rumah). Alasan ketiga, yang sebenamya me rupakan alasan paling utama adalah pelestarian ritual altruists shamanisme Lo Cia yang dibawa, diperkenalkan dan dirintis di Jakarta oleh shaman Yantje Oei sebagai salatu satu eksponen angkatan pertama kebangkitan Lo Cia-isme di Manado pada tahun 1953 yang inheren dengan aliran klenteng Lo Cia Kiong sebagai klenteng kedua tertua di kota Manado.
Altruistis shamanisme adalah bentuk ritual spiritual yang sering dijumpai pada upacara-upacara tertentu yang diadakan dalam kalangan itemal Taoisme. Melihat komposisi jenis dewa yang terdapat di klenteng Lo Cia Bio, klenteng ini tergolong klenteng Tridharma karena jenis dewata Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme terwakili di klenteng ini. Tetapi dari aspek ritus (tatacara dan persembahyangan), ditambah ritual shamanisme mencerminkan corak Taoisme yang kental, sehingga dapat disimpulkan, Klenteng Kampungduri — Lo Cia Bio adalah klenteng Tridharma berkarakteristik Taoisme. Sesuai dengan misi dan corak klenteng Lo Cia Bio, segala tata ibadah (termasuk jenis persembahan), dan ritual altruistis shamanisme yang mencerminkan kultus agama Tridharma khas Manado tetap dipelihara dengan baik untuk dilestarikan. Klenteng Kampungduri — Lo Cia Bio telah dipersiapkan demi kepentingan umum, berarti juga sebagai tempat ibadah untuk para saudara sedharma lintas sekte (klenteng dan vihara) dari Manado yang sedang berkunjung ke Jakarta, karena diyakini akan terasa lebih nyaman (tidak akan merasa asing) ber ibadah di Lo Cia Bio dalam lingkungan yang kental dengan budaya dan komunitas Manado. Tidak jarang anggota komunitas Manado yang berkeyakinan lain sengaja datang ke klenteng Lo Cia Bio yang terkenal sebagai wadah tempat berkumpul orang Manado pada hari-hari ibadah untuk mengantarkan kerabat/teman dari luar Jakarta yang bemiat datang bersembahyang, ingin melihat klenteng ini, atau pun sekedar ingin berjumpa dengan satu atau beberapa tecu-nicu