Kepercayaan asli orang Tionghoa dikenal dengan pemujaan roh, dan telah ada sejak jaman purba sebagai kepercayaan rakyat. Dikutip dari kitab Dewa-Dewi Kelenteng yang mensitir pendapat Prof. Ruan Chang-rui dalam buku Zhuangyan de Shijie (Dunia yang Khidmat) sebagai berikut: “Pemujaan roh adalah gejala peradaban paling tua dan paling umum dalam masyarakat manusia yang perwujudannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan, tradisi dan budaya masing-masing” Sejak jaman purba orang telah mempercayai adanya roh-roh penghuni dan penjaga lingkungan alam (bumi, air, langit) di sekitar manusia dan menyembahnya karena dianggap menguasai kehidupan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, akses kepercayaan ini meluas dengan pemujaan kepada para arwah leluhur, dan kemudian juga kepada para roh suci (dewa).
Tradisi pemujaan leluhur secara terlembaga pertama kali diciptakan oleh dinasti purba He / Hsia (2205 —1766 SM) yang merupakan dinasti pertama di Tiongkok, Dinasti purba He mengutuskan para kaisarnya melalui pemberian gelar Putra Allah yang bermakna sebagai wakil Tuhan di dunia, sedang para mendiang kaisar He dipuja sebagai dewa dalam Bio Leluhur (Cong Bio / Co Bio ). Tradisi pemujaan leluhur dan Bio Leluhur diadopsi masyarakat untuk pemujaan kepada para mendiang anggota keluarga masing¬masing. Pemujaan leluhur secara eksklusif dimantapkan oleh Nabi Khonghucu dengan doktrinnya yang amat terkenal dinamai Jing Tian Zun Zu/Kheng Thian Cun Cou yang bermakna “Mengagungkan Thian, Menghormati Leluhur”. Pada intinya azas tersebut mengajarkan untuk bersujud mengagungkan Thian, dan menekankan betapa perlu menghargai para mendiang orang-orang yang telah berjasa kepada negara atau masyarakat seperti para nabi, pahlawan dan orang-orang besar lainnya untuk dihormati dalam Klenteng sebagai roh suci/dewa (shen-ming / sin-beng) atau guru (spiritual).
Faham pemujaan leluhur dilandasi kepercayaan adanya kehidupan setelah kematian (roh manusia kekal) dengan alasan berikut. Sesuai dengan hukum yin-yang (im-yang ), manusia sebagai kesatuan jasmani-rohani dalam dirinya terdapat dua kekuatan hidup sang bertentangan dinamakan nyawa (kui atau po / yin-soul), dan roh (sin atau hun / yang-soul). Tubuh jasmani manusia yang terbentuk dari lima unsur dasar (tanah, air, api, logam, kayu) mengandung 36 materi menjijikkan (darah, daging, tulang, dll.) memiliki “keinginan hidup dan kekuatan hidup” beserta berbagai nafsu yang timbul melalui indera nya sebagai syarat untuk memenuhi kehidupan jasmaninya / jasadnya. Kehidupan jasmani (nafsu) merupakan cerminan dari adanya nyawa, sedang semangat (chi ) adalah manifestasi adanya roh. Ketika seseorang meninggal dunia, tubuh jasmani yang bersifat yin / im akan kembali ke asalnya (tanah/bumi). Orang yang selama hidupnya belum terbina batinya (terbangun rohnya), akan menuju ke alam sengsara dan arwahnya disebut setan (kui). Bagi orang yang telah terbina batinnya, rohnya akan berkembang naik ke atas memancarkan cahaya terang, bersatu dengan Tao dan akan menjadi sari bagi sekalian makhluk, inilah kenyataan daripada roh dan disebut shen /sin. Roh suci (shen I kui shen I ghost immortal) menurut Da Liu seorang pakar, dosen dan praktisi senior Taoisme adalah “roh yang telah mencapai kemajuan spiritual/batin tetapi jasmani tidak kekal”. Beberapa asumsi menarik terkait dengan budaya pemujaan leluhur adalah roh leluhur setelah berada di alam baka masih memeriukan berbagai kebutuhan hidup seperti halnya keadaan seseorang ketika masih hidup di dunia fana, sehingga bergantung pada ritual ‘penyaluran jasa’ berbentuk mated (sesaji) dan doa (non mated) yang dikirimkan sanak keluarga kepadanya. Dipercayai roh leluhur tetap berada dalam lingkungan keluarga untuk mengawasi, membimbing keturunannya agar menjaga martabat keluarga dan mampu memberikan perlindungan, berkah kepada satu keluarga tertentu. Dampak akses tersebut ditambah alasan ‘bhakti’ (hao), membuat leluhur dipuja oleh marganya.
Diyakini roh leluhur selang beberapa lama bakal naik tingkatannya menjadi roh suci/dewa. Akses roh suci berskala lebih luas meliputi publik (lintas marga) sehingga dipuja oleh masyarakat. Doktrin Jing Tian Zun Zu berimbas memperbanyak jumlah dewa (sin-beng), baik berskala nasional yang dikenal luas dan dipuja hampir di seluruh Tiongkok (misalnya Kwan Kong), maupun tokoh lokal yang terbatas lebih dikenal dan dihormati oleh komunitas daerah asal nya. Kelompok roh suci dipuja di klenteng (miao / bio ), sedang pemujaan abu leluhur (zhong ci I sin-ci) dilakukan di meja abu (kong po)4 atau altar keluarga (hio hwee) yang dipelihara di rumah sebagian orang Tionghoa, atau dititipkan di Rumah Abu (Zu Tang/Co Bio) milik marganya atau di rumah abu publik (tiong ting). Di Indonesia kini tradisi memelihara abu leluhur jarang dilakukan, orang lebih memilih solusi praktis dengan menaburkannya di Area Pemakaman Laut atau menitipkannya di rumah abu publik. Demikian gambaran singkat tentang dasar filosofi dan sejarah pemujaan leluhur yang merupakan kepercayaan mayoritas orang Tionghoa dan tetap lestari hingga kini.